SYAHWAT Prabowo untuk meraih jabatan presiden tampaknya membutakan pandangannya.
Hilangnya identitas dan kemampuan menilai kebenaran, kebaikan, keadilan, serta etika menimbulkan tanda tanya.
Meski Prabowo mungkin memenangkan pemilihan menurut KPU dan MK, perlu klarifikasi atas sikapnya.
Pasangan Prabowo-Gibran tidak menjanjikan perubahan, bahkan bisa saja meninggalkan jejak kerusakan seperti era Jokowi, bahkan lebih buruk.
Nafsu tak terkendali untuk menang mendorong Prabowo menggunakan segala cara. Merangkul Gibran untuk memperkuat elektabilitas. Lembaga negara terlibat dalam pelanggaran hukum dan etika, mengubah citra MK, KPU, Bawaslu, serta pemimpin partai yang dulunya tajam bicara.
Prabowo, yang dulu dihormati sebagai ksatria gagah perkasa, kini terlihat kehilangan jati diri dan kebijaksanaannya demi membela Gibran. Pujiannya terhadap Gibran terasa kosong, tidak sesuai dengan fakta dan realitas.
Perhatiannya bukan pada status “anak muda” Gibran, melainkan pada proses kontroversial pencawapresannya. Prabowo yang sebelumnya memuji Jokowi, kini mengagumi Gibran, tanpa mempermasalahkan politik dinasti yang seharusnya dihindari.
Istilah “demi negara” tampaknya hanya semacam kamuflase untuk kepentingan Jokowi dan keluarganya, hal ini disoroti oleh Prabowo. Prabowo, yang dulu dikenal sebagai pahlawan kejujuran, kini dituding sebagai penjilat yang membenarkan tindakannya untuk mencapai ambisinya menjadi presiden.
Pujian Prabowo kepada Jokowi, yang dianggap zalim dan korup, menimbulkan tanda tanya. Dugaan bahwa semua tindakan Prabowo hanyalah pembenaran atas ambisinya menjadi presiden merupakan penghinaan terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Jokowi disorot atas kebijakan yang menguntungkan China dan oligarki taipan serta dugaan korupsi. Sulit menemukan kebijakan Jokowi yang benar-benar pro rakyat, mengundang pertanyaan tentang Prabowo yang menjadikan Jokowi sebagai panutan.
Prabowo yang mengagumi Jokowi, meskipun rakyat mulai muak dengan kebohongan Jokowi, menunjukkan paradoks dalam pandangannya. Pembenaran terhadap pencalonan Gibran, meskipun dipermasalahkan oleh masyarakat, membuat keraguan akan integritasnya. Perbandingan antara Gibran dan tokoh sejarah juga dianggap tidak relevan. (*)