Seluruh fraksi partai di Komisi I DPR dan pemerintah sepakat memboyong Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dalam rapat paripurna yang rencananya digelar Kamis (20/03/2025). Pemerintah dan DPR mengabaikan tuntutan masyarakat sipil yang meminta pembahasan tidak dilakukan terburu-buru, dan memberi waktu yang memadai untuk dikaji lebih komprehensif.

Direktur Eksekutif Imparsial, Ardi Manto menilai revisi UU TNI digarap cepat dan prosesnya tertutup serta tanpa diawali evaluasi implementasi UU 34/2004. Selain absen kajian, proses revisi UU TNI tidak dilandasi adanya kebutuhan yang mendesak. Ketentuan yang diubah hanya soal menambah kewenangan, penguatan institusi TNI menduduki jabatan sipil dan mengurusi berbagai hal di luar aspek pertahanan.

UU TNI yang berusia lebih dari 20 tahun ini menurut Ardi sudah layak dievaluasi dengan melibatkan partisipasi publik secara bermakna dan luas. Tujuan evaluasi untuk mengidentifikasi kendala yang dihadapi selama ini dalam mewujudkan TNI yang profesional dan modern. Sayangnya, proses pembahasan RUU TNI terkesan tertutup, karena sempat dibahas maraton di hotel selama 3 hari tanpa partisipasi masyarakat sipil.

Baca Juga

“Pemerintah terpaksa membuka draf RUU TNI dan mengakomodir sebagian keinginan masyarakat sipil. Tapi tetap kita khawatir ini akan mengembalikan dwi fungsi TNI dalam kehidupan sipil,” katanya dalam diskusi bertema Menyikapi Draf RUU TNI per 18 Maret 2025 dan Rencana Pengesahan RUU TNI, Rabu (19/3/2025).

Ardi melihat ada perubahan paradigma antara UU 34/2004 dengan draf RUU TNI yang disepakati Komisi I DPR dalam pembicaraan tingkat I. Misalnya, mengubah Pasal 47 ayat (1) yang tadinya bersifat limitatif mengatur prajurit aktif harus mundur atau pensiun lebih dulu sebelum mengampu jabatan sipil. Kemudian ketentuan Pasal 1 ayat (2) membatasi hanya 10 instansi yang boleh ditempati prajurit aktif, tapi sekarang RUU TNI menambah menjadi 14 instansi.

Pertama, koordinator bidang politik dan keamanan negara. Kedua, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional. Ketiga, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden. Keempat, intelijen negara.

Kelima, siber dan/atau sandi negara. Keenam, lembaga ketahanan nasional. Ketujuh, pencarian dan pertolongan. Kedelapan, narkotika nasional. Kesembilan, pengelola perbatasan. Kesepuluh, penanggulangan bencana. Kesebelas, penanggulangan terorisme. Kedua belas, keamanan laut. Ketiga belas, Kejaksaan Republik Indonesia. Keempat Belas, Mahkamah Agung.

“Ini artinya Pasal 47 mengalami perubahan paradigma dari sebelumnya bersifat limitatif sekarang menjadi fleksibel,” ujar Ardi.

Ardi berpendapat perubahan paradigma itu menunjukan upaya mereduksi supremasi sipil. Selain perubahan Pasal 47, indikasi lainnya dapat dilihat dari perubahan Pasal 7 yang menambah bentuk operasi militer selain perang (OMSP) dan Pasal 53 menambah batas usia pensiun.

“Ini yang kita katakan sebagai kembalinya dwi fungsi atau militerisme dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat sipil,” urainya.

Dalam diskusi yang sama Sekretaris PBHI, Gina Sabrina, mencatat sejumlah poin penting dalam draf RUU TNI terakhir antara lain tentang izin dalam bentuk keputusan politik negara diubah menjadi peraturan pemerintah dalam hal pelaksanaan OMSP. Padahal sebelumnya Pasal 7 mengatur pelaksanaan OMSP berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

RUU TNI memberi ruang prajurit aktif menempati jabatan di badan nasional yang menangani bidang narkotika. Padahal UU Narkotika sudah tegas menempatkan penanganan masalah narkotika masuk dalam ranah penegakan hukum, bukan pertahanan.

“Pasal 47 ayat (1) RUU TNI harusnya menghapus bidang narkotika nasional,” usulnya.

Gina menegaskan Pasal 47 ayat (2) mengatur selain menduduki jabatan di kementerian/lembaga sebagaimana ayat (1), prajurit aktif dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Konsekuensinya lebih dari 2.500 prajurit aktif yang mengampu jabatan sipil di luar 14 instansi yang dibolehkan harus mundur dari dinas keprajuritan.