JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber Bedah Buku “Hukum dan Politik Ketatanegaraan” karya Idul Rishan, pada Senin (8/3/2021) sore secara virtual. Kegiatan ini diselenggarakan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) dalam rangka Milad ke-14 PSHK FH UII.
Saldi mengatakan, FH UII termasuk fakultas hukum yang paling konsisten melahirkan produk-produk buku di kalangan internalnya. Secara keseluruhan, hal ini menjadi contoh yang harus ditiru oleh fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
“Kalau ada seseorang yang melahirkan karya berupa buku, itu sesuatu yang harus diberi apresiasi khusus. Terlepas kita setuju atau tidak, itu menjadi cerita akademik lain. Jangan pernah kita berpikir, kalau kita menulis buku, semua orang harus setuju. Semakin banyak yang tidak setuju pada suatu karya akademik, memancing orang yang tidak setuju melahirkan karya-karya berikutnya sebagai pembangunan hukum kita,” ucap Saldi.
Kaya Literatur
Saldi terkesan dengan Buku “Hukum dan Politik Ketatanegaraan” karena sangat kaya dengan literatur melalui kutipan-kutipan ahli, serta ada hampir 500 catatan kaki dan 355 kepustakaan. Buku setebal sekitar 270 halaman dan 500 catatan kaki, menurut Saldi, setiap halaman buku ini ada dua kutipan ahli.
“Tidak mudah menulis sesuatu yang mempertemukan pendapat berbagai pemikiran terhadap topik yang kita tulis itu sendiri. Dengan membaca buku karya Mas Idul, setidak-tidaknya kita sudah berselancar di buku-buku yang dikutip dalam rujukan penulisan buku Mas Idul ini,” jelas Saldi.
Menurut Sadi, kalau seseorang rajin membuat tulisan dalam sehari satu sampai dua halaman, paling tidak akan menghasilkan dua buku dalam setahun. Artinya, menulis buku tidak hanya sekadar imajinasi, tetapi bagaimana menuangkan imajinasi itu ke dalam bentuk tulisan.
“Saya agak tergagap-gagap ketika orang sedang membicarakan Covid, tiba-tiba Prof. Ni’matul Huda muncul dengan bukunya mengenai Covid yang dikaitkan dengan pemerintahan daerah,” ungkap Saldi.
Saldi juga menuturkan, dia pernah merasa “tersinggung” dengan Prof. Richard Albert asal Amerika Serikat yang datang ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terkait acara bedah buku karya Richard. “Ketersinggungan” Saldi karena Richard sama sekali tidak menyebutkan perubahan konstitusi di Indonesia.
“Dia menulis cerita-cerita di berbagai negara tentang perubahan Konstitusi, namun saya tidak menemukan ada kata ‘Indonesia’ dalam buku itu. Padahal kita memiliki pengalaman luar biasa tentang perubahan Konstitusi. Itu artinya perkembangan ketatanegaraan Indonesia belum sepenuhnya terkomunikasi kepada kalangan yang lebih luas di muka bumi ini,” urai Saldi.
Catatan dari Saldi
Saldi memberikan salah satu catatan terhadap Buku “Hukum dan Politik Ketatanegaraan” bahwa buku ini masih menyediakan ruang bagi pembaca untuk menelusuri lebih jauh, misalnya masalah kekuasaan kehakiman. Menurut Saldi, penulis buku ini menggunakan dua terminologi untuk pengisian hakim konstitusi, apabila didalami dari aspek hukum tata negara itu berbeda sekali. Ada beberapa hakim konstitusi yang diangkat berdasarkan election, serta ada beberapa lagi yang diangkat melalui proses selection.
“Terminologi seperti ini sebetulnya memacu kita, penggunaannya tepat atau tidak. Lebih tepat menggunakan metode selection atau election? Ini menjadi catatan dari saya. Mungkin Mas Idul akan jauh lebih baik memberikan elaborasi kepada kita secara teoritis, bagaimana suatu proses pengisian hakim, dalam hal ini hakim konstitusi,” ucap Saldi.
Saldi juga menyoroti masalah kekuasaan pemerintahan negara dalam buku karya Idul. Terkait kekuasaan pemerintahan negara, Saldi berkomentar bahwa Indonesia memang agak terlambat dibanding negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil.
“Kalau teman-teman sempat membaca detail risalah Perubahan UUD 1945 yang membicarakan tentang hubungan antara pemegang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, sedikit sekali di antara para ahli yang mau mendetailkan secara baik mengenai sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan parlementer maupun sistem pemerintahan campuran,” kata Saldi kepada para mahasiswa.
Kajian mengenai sistem pemerintahan mulai menemukan tempatnya saat terjadi Perubahan Konstitusi. Menurut Saldi, Idul dalam bukunya sudah memberikan tapak awal tentang sistem pemerintahan.
Saldi menceritakan, di awal Perubahan UUD 1945 ada anggapan bahwa DPR lebih kuat dalam fungsi legislasi dibanding Presiden. Namun dalam disertasinya, Saldi membantah anggapan tersebut. Menurut Saldi, secara teks UUD 1945 hasil perubahan menjadikan posisi Presiden jauh lebih kuat dibandingkan DPR dalam fungsi legislasi.
“Ada lima tahapan dalam fungsi legislasi yaitu tahapan pengajuan, pembahasan, persetujuan bersama, pengesahan, dan pengundangan. Kelima fungsi tersebut hanya dimiliki oleh Presiden. Sedangkan DPR hanya memiliki tiga fungsi yaitu mengajukan, membahas, melakukan persetujuan bersama,” jelas Saldi.
Pesan Saldi
Sebelum mengakhiri paparan secara daring ini, Saldi berpesan kepada para mahasiswa agar tidak ragu dan lebih mantap dalam memilih kuliah jurusan hukum tata negara. Menurut Saldi, cakupan wilayah hukum tata negara paling cepat berkembang lebih dinamis dibandingkan hukum lainnya karena hukum tata negara bersinggungan dengan dinamika politik.
“Kalau ada orang yang memilih jurusan hukum tata negara, kemudian merasa kehabisan materi untuk membuat skripsi ataupun disertasi, itu tidak masuk akal. Karena di antara wilayah hukum saat ini, yang paling cepat berkembang adalah wilayah hukum tata negara yang mengalahkan semua hukum lain. Hukum tata negara dekat sekali dengan dinamika politik,” tandas Saldi yang mencontohkan putusan kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat banyak dikaji orang, jumlahnya mencapai sekitar 30.000 karya ilmiah. (*/cr7)
Sumber: mkri.id