Oleh. : Natsir Zubaidi
Sekretaris Badan Pekerja Pembina Dewan Da’wah
Mohammad Natsir, seorang tokoh umat dan bangsa serta dunia Islam. Di samping dikenal sebagai seorang pemimpin dan negarawan (pernah menjadi ketua fraksi dan Ketua Umum Partai Islam Masyumi, juga pernah Menjadi PM pertama NKRI) juga dikenal sebagai seorang pemikir sejak mudanya. Menurut saya, setidaknya-tidaknya ada 7 wilayah pemikiran beliau : 1. Agama dan filsafat, 2. Pendidikan Islam 3. Dakwah dan Pembinaan Umat, 4. Politik Kenegaraan, 5. Hubungan antar Umat beragama, 6. Kebudayan dan peradaban, dan 7. Dunia Islam dan hubungan antar bangsa (Internasional). Beliau adalah seorang pribadi yang konsisten, termasuk dalam hal pemikiran, khususnya garis batas antara Islam dan sekularisme, yang istilah beliau disebut dengan “La dieniyah”, ini yang secara transparan mewarnai pemikiran beliau.
Menurut Mohammad Natsir, filsafat sekular mengakui tiga dasar berpikir yakni : Empirisme (Madzabul tajribah), Rasionalisme (Madzabul Aqli) dan Intuisionisme (Madzabul Ilhami), namun yang jelas mereka tidak mengakui adanya wahyu (revealation) dan adanya hidayah dari Allah Swt.
Pemikiran dan karya besar Mohammad Natsir yang disumbangkan kepada umat, bangsa dan kemanusiaan antara lain :
Pertama, sejak usia muda (25 th) beliau sudah melakukan tukar fikiran, polemik yang sangat cerdas dan elegan dengan Soekarno (31 th) terhadap masalah “keislaman, kebangsaan dan antar bangsa, melalui tulisan di majalah : Panji Islam, Pembela Islam, Pedoman Masyarakat dan lain lain. Tradisi berpolemik secara cerdas, santun dan elegan ini sebaiknya dapat dilakukan pada saat ini, terutama dalam menyelesaikan masalah bangsa kita.
Kedua, pada masa awal kemerdekaan tanggal 3 April 1950, beliau menyampaikan pidato di depan Parlemen gagasan tentang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikenal dengan “Mosi Integral”, karena walaupun Indonesia sudah merdeka, tetapi Belanda masih berusaha memecah-belah bangsa dengan membentuk negara yang bersifat federalisme yang dikenal dengan sebutan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Ketiga, Sesudah bebas dari tahanan politik, selama 4 tahun Pada zaman rezim Soekarno, tahun 1968 Mohammad Natsir dalam sebuah kuliah Umum di IPB, menyatakan bahwa umat dan bangsa kita memiliki 3 pilar, yakni : Masjid, Pesantren dan Kampus (Penguruan Tinggi).
Keempat, sesudah terjadi Tragedi berdarah pemberontakkan G30S/PKI, maka beliau banyak melakukan kunjungan guna memenuhi undangan baik dari berbagai organisasi, Masjid, dan Perguruan Tinggi, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, akibat dari pengkhianatan PKI tersebut.
Bersama KH. Taufiqurrrahman yang waktu itu menjadi ketua Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Jakarta dan tokoh lainnya, Mohammad Natsir mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah pada tanggal 26 Februari 1967. Beliau aktif menyelenggarakan pelatihan dan kursus Khatib dan Da’i. Kumpulan ceramah beliau disunting oleh Ustadz Saleh Umar Bayasut, menjadi kitab Fiqhud Dakwah, yang dicetak pertama kali pada tahun 1968 dan sudah dicetak ulang berkali-kali.
Pemikiran Mohammad Natsir, tentang pendidikan misalnya, pada hakekatnya bersifat universal yang melampaui batas waktu dan tempat, antara lain: 1. Bahwa asas pendidikan adalah Tauhid, 2. konsep ilmu menurut Mohammad Natsir, tidak ada dikotomi antara (ilmu Agama /”al-Ulum al Dinniyyah” dan ilmu Umum /”al Ulum al-‘Ammah), 3. Kemerdekaan dan kebebasan berfikir : Tradisi dan disiplin, 4. Bahasa Arab sebagai bahasa Ilmu 5. Masjid, Pesantren dan Kampus, sebagai pusat ilmu dan pembinaan umat dan bangsa.
Dr. Gamal Abdul Nasir, dalam buku yang bertajuk “Mohammad Natsir Pendidik Ummah”, telah mempersandingkan pemikiran Imam Al Ghozali (ilmu fardlu a’in dan ilmu fardlu kifayah), Ibnu Khaldun (ilmu dalil Naqli dan Ilmu dalil Aqli). Sedangkan Mohammad Natsir, ilmu Agama dan ilmu umum. Maka konsep ilmu Menurut Mohammad Natsir sebagai berikut: Ilmu Al-Dinniyyah, meliputi: Al Quran, Al Sunnah, Fikih, Ushul Fikih, Tarikh dan Bahasa Arab. Ilmu Al’Ammah meliputi A. Teori, seperti : Ilmu falsafah, Ilmu politik, Ilmu-ilmu sosial, hukum dan sejarah, B. Amali, meliputi Kedokteran, pengobatan, Sains, Teknologi dan lain-lain.
Pada tahun 70 dan 80-an Bapak Mohammad Natsir, masih sering menghadiri acara Internasional, antara lain : 1. Seminar “Pesan Islam terhadap Orang Modern”, Maret 1976, di Karachi dan Islamabad, Pakistan. 2. World Islamic Festival, di London, April 1976. 3. Dunia Islam berhadapan dengan dunia modern, Pidato Utama sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami di Cyprus, 24-28 Maret 1980, dan 4. Konferensi Islam Internasional, 21-24 Juni 1981, di Tokyo, Jepang.
Tahun 1980, puncak kemajuan Iptek di Amerika dan Eropa, tetapi mereka miskin rohani, sementara Dunia Islam yang kaya sumber daya alam, tetapi SDM lemah dibidang Iptek, namun memiliki kelebihan di bidang rohani. Sebenarnya tahun 80-an itulah adanya kesadaran baru bangsa Barat dan dunia Islam. Pada era tahun 70 dan 80-an itulah masa ” produktif pemikiran” Mohammmad Natsir, dalam memberikan sumbangan pemikiran terhadap dunia dan masyarakat Internasional (baik negara mayoritas dan juga minoritas Islam). Kelebihan beliau dalam setiap tulisannya tidak sekedar teks keilmuan atau paparan (liputan) pandangan mata. Tetapi analisis yang tajam terhadap persoalan yang dihadapi umat dan bangsa di dunia.
Lihat dan baca secara cermat, ketika beliau diminta untuk memberikan ceramah di gedung kebangkitan Nasional, Jakarta (19 juni 1976) yang bertajuk “World of Islam Festival dalam perspektif Sejarah”. Pada forum yang dihadiri oleh pengunjung yang membludak itu, beliau tidak saja memberikan pandangan mata tentang acara World of Islamic Festival, yang diadakan di London, yang merupakan “Dialog pemikiran dan perabadaban antara Islam dan Barat”, tetapi Mohammad Natsir, juga melakukan analisis yang cerdas, bahwa kelebihan bangsa Eropa (Barat) di bidang sains dan teknologi itu tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia, tetapi justru untuk menguras sumber daya alam, bangsa yang terbelakang terutama di negara-negara Timur tengah dan Afrika, mereka menguasai Iptek tetapi kosong jiwa kerohaniannya.
Di lain pihak dunia Islam (Afrika dan Timur Tengah) yang memiliki memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA), tetapi manusianya tidak menguasai sains dan teknologi. Di situlah Mohammad Natsir, melihat adanya ada ketimpangan, juga ketidak adilan. Keprihatinan itu yang mendorong beliau selalu mengawal dan mencermati pertemuan dan Seminar pendidikan di Mekkah (1977) dan di Jakarta (1980) dengan melibatkan Perguruan Tinggi swasta, yang mengundang Prof. Dr. Abdullah Nasief (Universitas King Abdul Aziz, Jeddah), dan Prof. Dr. Naguib al Attas (Universitas Kebangsaan Malaysia). Salah satu rekomendasi dari Seminar Pendidikan Islam di Mekkah (1977) dan Jakarta (1980) adalah didirikannya Universitas Islam Antar Bangsa di Karachi Pakistan dan Kuala Lumpur Malaysia.
Kepedulian kepada kemajuan dan peningkatan kualitas Perguruan Tinggi, mendorong Bapak Mohammad Natsir menggagas dibentuknya Badan Kerjasama Perguruan tinggi Islam swasta (BKS PTIS). Tujuan dibentuknya BKS PTIS ini, agar umat Islam bisa mandiri di bidang ekonomi, sains dan teknologi. Allahu A’lam