Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia
Tarif Trump membuat banyak negara geram. Banyak pihak melihat tarif impor tersebut sebagai respons terhadap defisit perdagangan Amerika yang terus membengkak. Tetapi sesungguhnya, motif di balik kebijakan tersebut jauh lebih kompleks dan multidimensional.
Pada satu sisi, Trump kerap membungkus kebijakan tarif dalam narasi sederhana: Amerika kalah dalam perdagangan internasional. Dalam berbagai pidato, ia menggambarkan defisit perdagangan sebagai kerugian bersih, sebuah kehilangan yang perlu ditebus dengan kebijakan keras terhadap mitra dagang seperti China, Meksiko, dan bahkan sekutu tradisional seperti Uni Eropa. Namun, narasi ini menyederhanakan kompleksitas neraca dagang dan mengaburkan berbagai tujuan strategis lain yang diam-diam turut bekerja.
Lebih dari Sekadar Neraca Dagang
Pertama-tama, tarif Trump tidak bisa dilihat hanya sebagai alat untuk memperbaiki neraca perdagangan. Ia menggunakan tarif sebagai instrumen proteksi terhadap industri strategis dalam negeri seperti baja, aluminium, otomotif, dan manufaktur berat. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang politik domestik. Di negara bagian seperti Pennsylvania, Ohio, dan Michigan—yang selama ini menjadi medan tempur pemilu—industri-industri ini adalah tulang punggung ekonomi lokal. Tarif menjadi simbol perlawanan terhadap globalisasi yang dinilai telah menggerus lapangan kerja dan martabat pekerja Amerika.
Kedua, tarif juga menjadi senjata dalam perang teknologi dan pengaruh global, terutama terhadap China. Trump menuduh Beijing melakukan praktik perdagangan tidak adil, seperti pencurian kekayaan intelektual, subsidi industri secara masif, dan paksaan transfer teknologi. Dalam konteks ini, tarif adalah bagian dari strategi lebih besar: membatasi kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi global yang dapat menyaingi dominasi Amerika Serikat.
Ketiga, kebijakan tarif juga mencerminkan upaya Trump untuk merombak arsitektur perdagangan internasional yang selama ini didasarkan pada multilateralisme dan lembaga-lembaga seperti WTO. Ia mendorong pendekatan bilateral yang lebih transaksional, di mana kekuatan ekonomi Amerika digunakan sebagai alat tekan dalam perundingan. Lihat saja renegosiasi NAFTA yang kemudian berubah menjadi USMCA—sebuah kesepakatan baru yang diklaim lebih menguntungkan bagi Amerika, tetapi juga menggeser prinsip dasar kerja sama menjadi pertukaran yang lebih kaku dan menguntungkan pihak kuat.
Ekonomi dalam Bayang-Bayang Populisme
Yang menarik, tarif Trump juga tidak bisa dilepaskan dari gelombang populisme ekonomi yang menyapu banyak negara, termasuk Amerika. Di tengah ketimpangan ekonomi yang membesar dan keresahan terhadap perubahan sosial, tarif menjadi simbol proteksi identitas nasional. “America First” bukan hanya slogan, melainkan mantera politik yang menjanjikan kembalinya kontrol atas ekonomi, perbatasan, dan masa depan.
Namun, apakah tarif benar-benar memperbaiki neraca dagang? Data menunjukkan bahwa dampaknya tidak sesignifikan yang dijanjikan. Defisit perdagangan Amerika dengan China memang sedikit turun, tapi sebagian besar karena penurunan impor, bukan peningkatan ekspor. Bahkan, perusahaan-perusahaan Amerika dan konsumen domestik justru menanggung beban tarif dalam bentuk harga barang yang lebih tinggi. Industri pertanian pun sempat terpukul karena pembalasan tarif dari China.
Di sisi lain, pendekatan unilateral yang keras ini justru menimbulkan ketidakpastian global, melemahkan tatanan perdagangan dunia, dan memperburuk hubungan dengan sekutu. Dunia yang semula terbuka terhadap integrasi ekonomi kini terfragmentasi oleh nasionalisme ekonomi yang menular.
Refleksi untuk Dunia dan Indonesia
Kebijakan tarif Trump memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dalam dunia yang semakin terhubung, perdagangan tidak bisa lagi dipisahkan dari geopolitik, teknologi, dan bahkan sentimen sosial. Proteksionisme mungkin menggoda dalam jangka pendek, tapi dampaknya bisa melumpuhkan daya saing jika tidak dibarengi dengan reformasi struktural dalam negeri.
Indonesia pun pernah tergoda untuk membentengi diri dari produk luar dengan kebijakan tarif dan pembatasan impor. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pembangunan industri nasional yang berkelanjutan justru bergantung pada kemampuan berinovasi, efisiensi, dan keterhubungan dengan rantai nilai global, bukan sekadar pagar tarif.
Yang lebih penting, kita perlu melihat bahwa perdagangan bukan semata-mata soal barang dan angka, tapi soal keseimbangan antara keterbukaan dan perlindungan, antara kerja sama dan kemandirian, antara ekonomi dan identitas. Di tengah dunia yang berubah cepat, kebijakan seperti tarif perlu dibaca secara jernih: apakah ia lahir dari kebutuhan riil, atau sekadar respons politis terhadap ketakutan yang lebih dalam?