Oleh Iman Handiman, Ketua Umum Forum Pemred Media Siber Indonesia
POLISI kembali memberlakukan tilang manual. Surat telegram Kapolri sudah dilayangkan pada 12 April 2023, belum setahun sejak tilang elektronik berbasis kamera electronic traffic law enforcement atau ETLE berlaku serempak di seluruh kota Indonesia – 22 September 2022. Hari-hari ini tilang baru stok lama itu sedang disosialisasikan ke masyarakat sebelum sepenuhnya diterapkan.
Menghadirkan kembali polisi lalu lintas di jalan raya sekaligus dengan sistem pengawasan dan penindakan elektronik ETLE diharapkan bisa mengantisipasi kecenderungan yang tampak setelah delapan bulan pengerahan ETLE. Fakta, banyak pengendara selalu mengakali aturan.
Berhadapan dengan kamera pasif sebagai ‘pengganti’ polisi, pengendara sepertinya lebih nyaman karena ‘tidak ada’ yang mengawasi. Sementara ‘mata’ ETLE ternyata tidak lebih ‘tajam’ dari polisi manual. Keberadaan ETLE tidak membuat pengendara menjadi lebih tertib dan disiplin, justru dari awal mereka berusaha menyiasati ETLE. Apalagi untuk lolos dari ETLE tak perlu transaksi pula.
Setelah ada ETLE, pelanggaran tidak berkurang, apalagi hilang. Pelanggaran justru meningkat, hanya saja kali ini banyak yang lolos alias tidak terjaring. Penegakan hukum dengan ‘perangkap’ digital ternyata tidak lebih maju dibanding dengan cara ‘konvensional’.
Sejatinya mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas (kamseltibcarlantas) bukanlah soal penegakan hukum. Langkah hukum mestinya tidak menjadi prioritas dan orientasi. Penindakan hukum tidak berarti masalah selesai.
Masalah pokoknya adalah bagaimana memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Selama ini, bersama penegakan hukum, Polri rutin pula menggelar tiga operasi setiap tahun, yaitu Operasi Zebra, Operasi Simpatik, dan Operasi Patuh, yang kemudian ditambah tilang elektronik ETLE. Tapi hingga saat ini belum terlihat hasil yang signifikan.
Pelanggaran dari tahun ke tahun justru terus meningkat. Inilah bukti penegakan hukum bukan satu-satunya cara untuk menghentikan pelanggaran. Semua bentuk penindakan dan penegakan hukum tidak memberikan dampak signifikan terhadap upaya mewujudkan kamseltibcarlantas selama kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya keselamatan masyarakat di jalan raya masih rendah.
Oleh karenanya penegakan hukum harus disertai upaya untuk membangun dan meningkatkan kesadaran berlalu lintas masyarakat.
Lalu mengapa publik merespon negatif upaya penegakan hukum dengan cara tilang manual yang sudah sempat ditiadakan pasca berlakunya tilang ETLE. Inilah akibat lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat yang melakukan tilang manual. Nah, Polri seharusnya memberikan garansi bahwa aparat yang diturunkan sudah memiliki kesadaran tinggi terhadap larangan melakukan praktik pungli dan mencari-cari kesalahan pengguna jalan atau pengendara.
Oleh karena itu, apapun bentuk penegakan hukum akan maksimal dan efektif apabila semua pihak sudah sadar akan pentingnya ketertiban dan keselamatan berlalu lintas.
Kesadaran berlalu lintas masyarakat masih rendah, di sisi lain operasi-operasi yang dilakukan lebih cenderung pada penindakan hukum dengan orientasi pemberian denda. Sukses Operasi Zebra diukur berdasarkan seberapa banyak pelanggar yang ditindak, sehingga terkesan polisi malah berharap jumlah pelanggar terus bertambah.
Operasi Zebra terkadang terlihat seperti sekadar meraih denda sebanyak mungkin. Setelah membayar denda, urusan selesai, namun polisi tetap mengincar para pelanggar. Bahkan, mereka yang sudah membayar denda masih bisa melanggar lagi dan mungkin ditunggu polisi di simpang jalan. Hal ini membuat pengendara hanya tertib dan disiplin ketika melihat polisi. Sadar atau tidak, polisi lebih banyak menimbulkan rasa takut di mata masyarakat karena berbagai hal.
Kesadaran harus terus digalang bersama-sama. Sudah banyak memang edukasi mengenai lalu lintas yang diberikan kepada masyarakat, seperti program Sahabat Polisi untuk TK – SD, Polisi Go School, dan Polisi Go Campus, namun kegiatan tersebut hanya tempelan dan belum secara sistematis masuk dalam kurikulum. Padahal, sejak usia dini, orang sudah berinteraksi dengan lalu lintas, seperti saat pergi ke sekolah yang sering macet, atau berjalan di sekitar lingkungan sekolah yang juga sering mengalami kemacetan. Kemacetan meningkat saat hari-hari sekolah, ujian sekolah, kenaikan kelas, dan wisuda.
Membangun kesadaran menjadi hal yang sangat penting. Ini harus dilakukan secara bersama-sama, tidak hanya pada masyarakat pengendara, namun juga pada polisi sendiri. DPR juga tidak perlu berteriak menyalahkan sana-sini, mereka bisa mengambil solusi dengan ikut memberikan edukasi lalu lintas kepada masyarakat pemilih saat reses di dapil masing-masing.
Sekarang bagaimana caranya agar tertib dan keselamatan lalu lintas dapat menjadi mata pelajaran sejak dini. Jika bisa dilaksanakan mungkin dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan akan terjadi perubahan pada generasi ini. Upaya tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menghadirkan kehidupan jalan raya yang beradab. (*)