Oleh Ricky Rachmadi (Ketua DPP Partai Golkar bidang Ekonomi Kreatif)
Tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri adalah sumbangan ekonomi yang besar bagi negara. Karena itu, legislatif dan eksekutif memberikan perhatian istimewa pada para pahlawan devisa ini. Dengan menyadari urgensi perlindungan terhadap mereka, maka pada tanggal 25 Oktober 2017, DPR telah mengesahkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Keberadaan TKI, terutama di luar negeri, kini tidak lagi di bawah naungan aturan lama, yakni UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, melainkan telah digantikan dengan produk baru, UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Eksistensi UU baru tersebut menimbulkan konsekuensi logis terkait perubahan nama lembaga. UU yang menjadi hadiah untuk TKI tersebut, selama ini dikenal luas oleh masyarakat, terutama di lingkungan pekerja migran dan keluarganya, yaitu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri atau disingkat BNP2TKI.
Lembaga pemerintah nonkementerian di bawah presiden ini, bahkan memiliki jaringan struktural di berbagai daerah di Indonesia, yaitu berupa Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) hingga turunan struktural di bawahnya yang tersebar di daerah basis TKI yang menjadi unit teknis pelayanan dan perlindungan TKI.
Melalui Peraturan Presiden, UU No 18/2017 ini akan mengubah nama BNP2TKI secara kelembagaan dan struktural hingga ke jaringan pelayanan di bawahnya. Misal, nama BNP2TKI boleh jadi akan bermetamorfosis menjadi Badan Nasional Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BNP2MI). Tentu saja ini akan diikuti perubahan nama lembaga dan struktur organisasi pelayanan TKI yang ada di daerah.
Perubahan juga akan terjadi pada struktur organisasi/lembaga ini, baik di tingkat penambahan/penguatan (perubahan) para pejabatnya atau struktur pelayanan dari yang semula terbatas/kurang fokus menjadi lebih kuat, efektif, atau lengkap, apakah meliputi jajaran eselon I, II, III dan seterusnya.
Misal, jika sebelumnya di tingkat eselon I hanya terdapat Kedeputian Penempatan, Kedeputian Perlindungan, dan Kedeputian Promosi dan Kerja Sama Luar Negeri, maka saat ini dan ke depan peran kedeputian (eselon I) tergolong lebih strategis, didorong aktif/dinamis, dan lebih fokus dalam perannya yang meliputi Kedeputian Penempatan dan Pelindungan.
Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kedeputian Penempatan dan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah, serta Kedeputian Penempatan dan Pelindungan Kawasan Amerika dan Pasifik. Tentu saja bentuk kedeputian ini menjadi lebih dinamis dan akan lebih fokus dalam menyelenggarakan program penempatan dan perlindungan TKI, khususnya di luar negeri.
Berangkat dari UU baru tersebut, maka peran penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri akan semakin dikukuhkan. Terlebih lagi dalam UU baru itu juga mencakup adanya kerja sama dengan perwakilan RI di luar negeri (KBRI/Konjen RI/atau perwakilan RI lainnya seperti yang terdapat di Taiwan).
Meskipun hal ini juga diberi perhatian oleh UU lama, namun dengan perubahan struktural kedeputian perkawasan, maka pembobotan peran penempatan dan perlindungan TKI akan menjadi lebih bermakna (berbobot). Ini mengingat ada fokus para pelaksana (pejabat) di tingkat pusat yang lebih kuat, terarah, dan jelas.
Peran lembaga baru ini (BNP2MI), dengan menggandeng perwakilan RI di luar negeri dalam sosialisasi penempatan TKI, akan berjalan efektif dengan menghimpun para pengguna TKI (perusahaan/lembaga penyalur/sponsor TKI), apalagi untuk kepentingan penempatan TKI sektor formal di negara tujuan penempatan. Dengan demikian, Indonesia tidak selalu berorientasi dalam penempatan TKI sektor domestik/rumah tangga.
Penempatan TKI sektor formal (dan semi formal) yang berpendidikan/berkeahlian, memang harus lebih diprioritaskan, diprogramkan, dan dipacu secara gencar oleh lembaga ini (BNP2MI). Karena, penempatan TKI sektor ini tidak banyak berisiko pada masalah perlindungan bagi TKI itu sendiri.
Dan oleh karena para TKI sektor formal umumnya sudah dibekali kemampuan melindungi dirinya sendiri, baik akibat memahami hak-haknya sesuai perjanjian penempatan, pemahaman budaya negara setempat, dan secara hukum, juga mengetahui hak-haknya seandainya terjadi masalah, risiko dan kebijakan atau tindakan yang tidak adil.
Berbeda dengan TKI sektor domestik/rumah tangga, yang meski masih dibutuhkan oleh para pengguna dan penyalur, namun TKI sektor ini pada umumnya masih rawan dalam melindungi dirinya sendiri. Sehingga, banyak kasus yang merugikan TKI jenis ini, baik menyangkut hak-haknya, perlindungan, termasuk gaji dan asuransi.
Dalam hal melibatkan perwakilan RI di luar negeri, BNP2MI juga bisa menyelenggarakan forum-forum sosialisasi bagi upaya penempatan TKI sektor formal ataupun penempatan TKI sektor domestik. Di samping terkait program-program perlindungan TKI yang melibatkan kerja sama dengan perwakilan RI dan para pihak lain di luar negeri.
Bahkan untuk menggesa penempatan TKI sektor formal, harus dilakukan upaya-upaya perluasan jenis-jenis pekerjaan mereka. Ini agar penerimaan TKI formal dapat terus berlangsung dan semakin berkembang.
Pada sisi lain upaya memperkuat penempatan TKI sektor domestik/rumah tangga perlu secara perlahan dikurangi dan bahkan disetop. Kecuali, untuk negara-negara yang banyak membutuhkan, seperti Hongkong, Taiwan, dan beberapa negara di Timur Tengah.
Meski demikian, di negara-negara Timur Tengah, keperluan untuk penempatan TKI sektor domestik/rumah tangga, juga kecenderungannya mulai menurun, selain karena faktor rawannya aspek perlindungan dari para pengguna/majikan.
Di Tanah Air, langkah untuk mensosialisasikan penempatan TKI, khususnya sektor formal, harus semakin digalang dengan memperbanyak menggelar job fair, dialog dengan melibatkan sekolah-sekolah kejuruan, unsur kemasyarakatan, kerja sama dengan perguruan tinggi, dan dalam ajang ceramah di kampus-kampus, perguruan tinggi yang melibatkan banyak mahasiswa. Ini agar menumbuhkan minat bekerja ke luar negeri setelah para mahasiwa lulus kuliah.
Sebaliknya, dengan menggelar berbagai forum dan dialog kemasyarakatan, langkah untuk membangun kemartabatan TKI, juga harus dilakukan. Ini agar penempatan TKI sektor informal/domestik/rumah tangga, dapat dikurangi dan dapat dihentikan bila perlu dengan menghasilkan deklarasi-deklarasi dukungan masyarakat/lembaga/perusahaan pengerah jasa TKI yang juga melibatkan berbagai pihak secara luas.
BNP2MI juga harus aktif menggalang isu-isu perlindungan dan penempatan TKI ke luar negeri di masyarakat luas di Tanah Air. Bila perlu, dengan memanfaatkan momentum safari Ramadan dan lain-lain.
Sementara, perusahaan jasa pengerah TKI terkait keperluan penempatan TKI sektor formal, juga harus banyak dilibatkan dan sekaligus mendorong mereka melakukan pengurangan TKI sektor demostik/rumah tangga.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah mendorong perusahaan asuransi TKI agar lebih aktif dan punya perhatian yang besar terhadap penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri baik sektor formal maupun domestik/rumah tangga.
Yang juga urgent adalah, peran kepala badan BNP2MI dalam mengeluarkan peraturan kepala badan yang berorientasi pada pemartabatan para TKI dan keluarganya serta untuk membela hak-hak TKI di luar negeri.
Peran kepala badan bisa membuat bentuk-bentuk peraturan yang menguntungkan hajat hidup TKI dan keluarganya, sistem rekrut TKI yang adil dan bertanggung jawab, di samping dapat mengusulkan ke Menteri Tenaga Kerja untuk menutup perusahaan TKI yang bermasalah atau merugikan TKI/calon TKI.
Paradigma baru bagaimana peran negara dalam perlindungan TKI sangat gamblang dijelaskan dalam UU Nomor 18 Tahun 2017. Karena lebih menekankan dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI).
Dalam UU ini, peran perlindungan PMI diserahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, dimulai dari sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja. Pihak swasta hanya diberi peran sebagai pelaksana penempatan PMI.
Selanjutnya tujuan dari perlindungan calon PMI adalah menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga negara dan PMI; dan menjamin perlindungan hukum, ekonomi dan sosial PMI dan keluarganya.
Penguatan peran negara baik di tingkat pusat dan daerah menunjukkan komitmen negara untuk memberikan perlindungan kepada PMI dan penghormatan hak asasi manusia. Dengan peran negara yang besar akan meminimalisasi tindakan eksploitatif yang selama ini dilakukan oleh pihak swasta untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Selama ini, dominasi peran swasta dalam pengelolaan buruh migran mengantarkan PMI dalam situasi yang rentan pelanggaran HAM. Dalam UU lama (UU No. 39 Tahun 2004), peran swasta sangat dominan mulai memberikan informasi, pendataan, pengurusan dokumen, menyelenggarakan pendidikan, pra-pemberangkatan, penampungan, medical check-up, memberangkatkan, sampai menyelesaikan masalah hingga kepulangan.
Dalam UU baru peran swasta hanya memberangkatkan PMI yang sudah diverifikasi dan dinyatakan siap oleh lembaga terpadu satu atap (LTSA), melaporkan kepulangan dan menyelesaikan masalah. Inilah solusi legislasi, paradigma baru dan pelayanan total yang dipersembahkan pemerintah dan DPR untuk para pahlawan devisa.