Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, MBA.

Pasca pendaftaran Capres-Cawapres Anies Baswedan & Muhaimin Iskandar (Amin) dan Ganjar Pranowo & Mahfud MD (Gafud – note: singkatan dibuat sendiri oleh penulis untuk mempermudah penyebutan) ke KPU tanggal 19 Oktober 2023, naskah digital visi-misi kedua paslon tersebut beredar di media sosial. Sebagai warga negara, dan calon pemilih, saya tergerak untuk membacanya. Menurut saya ini penting, karena visi-misi tersebut – seharusnya – mencerminkan “pikiran” para calon pemimpin tertinggi bangsa ini, yang jika terpilih, akan menentukan arah nasib kita semua.

Visi Amin: “Indonesia adil dan makmur untuk semua”.

Baca Juga
Visi Gafud: “Menuju Indonesia unggul; Gerak cepat mewujudkan negara maritim yang adil dan lestari”.

Setelah saya membaca kedua naskah visi-misi tersebut (sayangnya punya Prabowo belum rilis per 20 Oktober 2023), ada beberapa impresi di kepala saya. Meskipun saya cukup meyakini naskah tersebut dibuat oleh tim pakar masing-masing paslon, namun itu bukan masalah. Anggap saja itu merepresentasikan “pikiran” mereka (atau “pikiran” kolektif community mereka?). Minimal naskah visi-misi tersebut telah disetujui oleh mereka.

Dari sisi ketebalan, kita dapat melihat, naskah visi-misi Gafud berjumlah 62 halaman, sementara visi-misi Amin 143 halaman. Apakah ketebalan naskah menjadi ukuran “kualitas” atau minimal “keseriusan”? Mungkin anda punya penilaian tersendiri. Buat saya sendiri, tidak menjamin. Seperti CV saat melamar pekerjaan, tidak ada jaminan CV yang tebal lebih “berkualitas”. Biasanya dibuat sesuai kebutuhan: ada short version dan full version. Dalam hal ini, jika naskah visi-misi Gafud ada versi panjangnya, saya pribadi sangat tertarik untuk mempelajarinya.

Namun, tidak salah juga jika ada yang berimpresi naskah visi-misi Amin lebih komprehensif. Menurut saya, naskah visi-misi yang baik harus dibersamai dengan analisis terhadap persoalan. Ada latar belakang, analisa lingkungan dan situasi existing, mapping kekuatan dan kelemahan, kerangka pemikiran, hingga strategi dan solusi yang ditawarkan untuk mewujudkan visi. Jika ini ukurannya, maka memang belum ada naskah yang “sempurna”, namun naskah visi-misi Amin lebih “upper” dan jauh lebih komprehensif. Di lain sisi, naskah visi-misi Gafud “terlalu to the point”. Analisis dan penyajian data-data yang ditampilkan cenderung kurang.

Yang menarik, keduanya sama-sama mengemukakan 8 misi, dimana masing-masing misi diderivasi menjadi cukup banyak program-program. Secara umum, ada cukup banyak persamaan diantara keduanya, meskipun masing-masing memiliki titik tekan yang berbeda. Namun nilai plus dari naskah visi-misi Amin adalah didalamnya memuat agenda strategis (8 sayap kemajuan) dan agenda khusus (28 simpul kesejahteraan). Konsep yang nihil ditemukan di naskah visi-misi Gafud.

Satu lagi yang menurut saya menjadi nilai lebih dari naskah Amin adalah tersedianya “lampiran” yang menyediakan data-data statistik yang menampilkan “angka historis” dan “target Amin”. Dari aspek ini, menurut saya naskah Amin lebih “sadar data”. Dan yang menarik, target yang ditetapkan oleh Amin tidak terlalu “utopis”, meskipun berorientasi “perbaikan”. Sebagai contoh, Amin menargetkan penurunan tingkat pengangguran terbuka menjadi 3,5%-4,0% (2029) dari sebelumnya yang “pola”nya di kisaran 5%-6%. Adapun penurunan tingkat kemiskinan ditargetkan turun menjadi 4,0%-5,0% dari sebelumnya di kisaran 9-10%.

Sementara dalam naskah Gafud, sebagai contoh, tanpa menghadirkan data-data statistik, sudah langsung menargetkan kemiskinan turun menjadi 2,5%. Jujur, saya cukup terkejut dengan angka yang ditargetkan tersebut. Kesan awal di benak saya, memang target Gafud “menggiurkan”, membuat saya terpesona. Mirip orang marketing yang memberi janji “gula-gula”. Tapi, jika saya mengatakan target tersebut “utopis”, mungkin saya akan di-judge terlalu pesimistis. Saya kira ini Kembali kepada kita masing-masing untuk menilainya. Namun, setahu saya, penetapan target juga harus melihat history. Ilustrasinya, jika anak kita sejak kelas 1-3 berada di rangking 10, setidaknya target di kelas 4 jadi rangking 5-6, tidak langsung di rangking 2 apalagi 1.

Barangkali, strategi “marketing” dengan memberikan janji-janji “atraktif” akan lebih menarik pemilih. Faktanya, masih banyak sebagian rakyat yang terpesona dengan janji manis. Saya kira ini memang realitas sosiologis. Dan dugaan saya, hal ini sangat difahami oleh tip perumus visi-misi Gafud, untuk memberikan konsep visi, misi dan program yang “keren”. Mengapa saya katakan “keren”? Setidaknya ada dua kata kunci (keywords) yang secara “marketing” sangat menarik, apalagi bagi para pemilih muda-milenial. Kata-kata kunci tersebut adalah: unggul dan gerak cepat (akselerasi).

Sejujurnya secara personal, dua kata kunci tersebut, cukup “berhasil” menarik hati saya. Betul, meski saya sendiri bukan pendukung Gafud. Profesi saya sebagai dosen, mendengar kata “unggul” itu keren. Itu level “akreditasi” yang paling tinggi. Ditambah lagi kata “gerak cepat” (akselerasi), itu memang narasi-narasi “zaman now” yang sangat digandrungi, terutama oleh anak-anak muda. Apalagi ditambah narasi-narasi seperti teknologi, inovasi, digitalisasi.

Untuk konteks ini, saya acungi jempol kepada tim perumus visi-visi Gafud. Jika mereka seumpama “content creator”, kemungkinan memperoleh atensi yang cukup banyak, likes dan mungkin subscribers. Mereka tidak hanya pakar di bidangnya, namun juga memiliki “sense of marketing”.

Melalui tulisan ini, saya bahkan ingin memberi note khusus. Siapapun nanti yang terpilih sebagai presiden (seandainya bukan Gafud), visi “keunggulan” dan “akselerasi kemajuan” tidak ada salahnya diadaptasi. Bangsa dan negara ini memang perlu “dipaksa” untuk maju. Yang perlu didiskusikan hanyalah aspek “How to achieve”-nya.

Saat masuk ke pertanyaan “How to”, sayangnya, saya belum menemukan strategi luar biasa yang ditawarkan oleh Gafud. Ibaratnya, saya baru tertarik di level 1. Level 1 itu ketertarikan impresif di permukaan, terpesona dengan narasi-narasi manis, kata-kata, janji-janji surga seumpama sales/marketing. Namun belum naik ke level 2. Level 2 itu ketertarikan rasional. Sejujurnya saya belum mendapatkan rasionalisasinya. Belum dijelaskan strategi yang “make sense” untuk mencapai visi-misi dan target-target yang ditentukan. Untuk tidak disebut “utopia”.

Selain itu, visi Gafud “mewujudkan negara maritim yang adil dan lestari” terkesan seolah menjadi “ornamen” belaka. Seharusnya ketika “negara maritim” dimasukan ke visi, maka misi dan program-programnya harus menjadikannya sebagai “isu utama/besar”. Bagaimana cara mewujudkan negara maritim yang adil dan lestari tidak dijelaskan secara mendasar, dan hanya dibahas sepintas, sangat tidak komprehensif.

Setelah saya membaca keseluruhan naskah visi-misi Gafud, dalam bayangan saya, untuk merealisasikannya, negara membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menjalankan semua program-program tersebut. “Ini bikinnya nggak mikir apa ya?”, jujur itu yang terlintas dalam kepala saya.

Contoh-contoh program Gafud yang membutuhkan biaya besar: wajib belajar 12 tahun gratis; 1 keluarga miskin 1 sarjana; menurunkan tingkat kemiskinan jadi 2,5%; penerima PKH 15 juta keluarga; 1 desa 1 lapangan; anggaran riset dan inovasi 1% dari PDB; 17 juta lapangan kerja baru; pertumbuhan ekonomi 7%; melanjutkan pembangunan IKN; dan masih banyak lagi program yang sangat membutuhkan biaya. Sementara selama ini biaya pembangunan kita ditopang oleh pajak dan utang luar negeri.

Memang, naskah tersebut “menyadari” akan pentingnya “ketersediaan anggaran” sebagai fondasi untuk merealisasikan program-program tersebut. Ditambah lagi pemberantasan korupsi dan digitalisasi birokrasi. Singkatnya, inginnya duitnya banyak tapi juga efisien, untuk membiayai pembangunan yang “obsesif”. Namun, menurut saya, peningkatan kinerja fiskal, pemberantasan korupsi dan sejenisnya tidak bisa main sulapan seperti “Bandung Bondowoso”. Narasi “akselerasi” memang terkesan indah tapi “akselerasi tanpa rasionalisasi” hanya akan menghasilkan kekecewaan. Apalagi jika parameternya tidak jelas.

Di sisi lain, naskah visi-misi Amin tampaknya menjadi semacam “kritik” terhadap arah kebijakan negara dan kepemimpinan selama ini yang masih banyak problem. Menurut saya standing position Amin wajar, karena berangkat dari posisi “oposisi” pemerintahan sebelumnya yang menghendaki perubahan.

Jika dibaca naskah visi-misinya, Amin cenderung menekankan visinya pada keadilan untuk semua, yang esensinya terdapat dalam Pancasila sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bagi saya, jika visi-misi Gafud memiliki muatan “kemajuan yang utopis”, sebaliknya visi-misi Amin lebih mengandung muatan “keadilan yang realis”. Bahkan, menurut saya lebih “Pancasilais”.

Mengapa saya katakan lebih Pancasilais? Tanpa bermaksud menafikan pentingnya kemajuan atau keunggulan, memang harus diakui bahwa – menurut saya — nilai-nilai Pancasila itu tidak ada yang secara tegas “menomorsatukan kemajuan”. Silahkan kita baca kembali Pancasila:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam Pancasila, memang, harus diakui bahwa “keadilan” itu lebih diutamakan dibanding “kemajuan”. Apakah saya memandang kemajuan itu tidak penting? Tidak sama sekali. Kemajuan dan keunggulan tetap penting (silahkan baca pernyataan saya di awal bahwa visi keunggulan perlu diadaptasi oleh siapapun presidennya).

Namun, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika ingin senafas dan sejalan dengan Pancasila, maka keadilan harus menjadi visi besar yang mau tidak mau harus dikedepankan oleh negara ini. Bukan berarti keadilan menegasikan kemajuan. Namun pemimpin kita harus dapat memastikan bahwa kemajuan yang dicapai itu berfondasikan keadilan. Itulah fungsi kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan. Presiden terpilih nantinya harus memberikan garansi bahwa setiap warga negara, tanpa kecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk maju. Untuk itulah keberpihakan terhadap rakyat kecil menjadi penting dijadikan sebagai spirit kepemimpinan hari ini dan di masa depan.

*Penulis berprofesi sebagai dosen dan aktivis sosial