Laporan: Badrudin dan Ace Sumirsa Ali
Awal tahun 2020 menjadi duka tersendiri bagi masyarakat di 6 kecamatan Kabupaten Lebak yang diterjang banjir bandang diantaranya Kecamatan Sajira, Kecamatan Cipanas, Kecamatan Lebak Gedong, Kecamatan Maja, Kecamatan Curugbitung, dan Kecamatan Cimarga. Banjir bandang akibat luapan sungai Ciberang dan Cidurian itu mulai naik dan menyapu bantaran sungai mulai pukul 05.00 WIB, Rabu (1/1).
Masyarakat terdampak banjir bandang tersebut tinggal di kamp pengungsian di daerah Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Rindam III Siliwangi, Kecamatan Sajira.
Duka masyarakat tidak hanya sebatas banjir, masyarakat yang kini tinggal di hunian sementara darurat tanpa aliran listrik dan toilet. Mereka meninggalkan lokasi pengungsian yang disiapkan oleh pemerintah dan para relawan di daerah Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Rindam III Siliwangi di Ciuyah, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak.
Walaupun tempat pengunggsian terbilang nyaman, mereka tak betah tinggal di pengungsian dan ingin mendekat kepada kampung halaman meski telah luluh lantah oleh bencana alam.
Para korban bencana tersebut memilih tinggal di gubug darurat sejak sepekan terakhir. Mereka memilih lokasi jalan milik PT Cemindo Gemilang yang belum difungsikan di Kampung Cigobang Anyar, Desa Banjarsari, Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Lokasi ini jauh diatas kampung mereka yang luluh lantah. Kira-kira berada di 1.200 meter diatas permukaan laut (mdpl). Persisinya di bawah kaki Gunung Halimun Salak.
Mereka menempati bangunan sederhana terbuat dari kayu hutan liar dengan atap dan dinding seadanya dari terpal. Luas bangunan gubug rata-rata 3 meter kali 4 meter, tanpa dapur untuk masak dan tidak dilengkapi toilet. Kebutuhan buang hajat dilakukan di hutan-hutan sekitar lokasi hunian sementara (huntara). Jika keadaan tak mendesak, buang air besar bisa dilakukan di air selokan yang jaraknya sekitar 800 meter dari lokasi hunian. Itupun medannya curam, berkelok dan licin. Di lokasi juga tidak didukung oleh aliran listrik dan air bersih. Belakangan berdiri beberapa toilet umum yang dibangun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lebak.
Bangunan gubug darurat ini dibangun warga secara swadaya dan bantuan dari para relawan diantaranya dari Perkumpulan Urang Banten (PUB), sebanyak 26 unit hunian sementara (huntara) dan santunan.
“Hampir dua bulan hidup di tenda pengungsian pak, udah gak betah. Kami ingin hidup normal di kampung sendiri biar bisa berkebun dan berladang, tapi rumah-rumah kami sudah tidak ada,” ujar Bared (50), kepada rombongan Perkumpulan Urang Banten (PUB) yang datang kelokasi dipimpin langsung Ketua Umum PUB Pusat, Letjen Purn Taufiequrachman Ruki, Minggu (16/2).
Diceritakan Bared, awalnya pada sepekan pertama setelah kejadian, dia dan beberapa keluarga bertahan di tenda hutan dekat lokasi bencana. Sebab ada beberapa warga korban bencana yang belum ditemukan. Selain itu, beberapa korban meninggal dunia belum dipulasara secara Islami, yaitu ditahlilkan selama tujuh hari.
“Baru semua korban ditemukan, baru kami sekeluarga ngungsi ke Ciuyah, tempat pengungsian dari pemerintah. Selama 17 hari di sana, lalu pindah ke rumah orang tua di Cisimeut. Tapi cuma 10 hari, soalnya inget aja kesini. Kasihan kebun tak ada yang merawat. Kalaupun bertahan di pengungsian, kami bingung mau ngapain disana,” ujar Bared didampingi istrinya Rukmanah.
Hal ini dibenarkan oleh Anis Mujtahidin, Kepala Desa Banjasari, Kecamatan Lebakedong, Kabupaten Lebak. Menurut dia, sedikitnya ada 140 kepala keluarga dari Desa Banjarsari yang mengungsi di Puslatpur Rindam III Siliwangi Ciuyah, Sajira. Sejak 10 hari lalu, mereka memilih kembali ke kampung halaman dan membuat gubug darurat di sepanjang jalan milik PT Cemindo Gemilang.
“Saat ini sudah sekitar 80 kk yang telah membuat gubug darurat. Kami tak bisa berbuat apa-apa lagi, warga ingin kembali, tapi lokasi yang aman tidak tahu dimana,” ujar Anis.
Medan Jalan Berat
Sementara itu, akses menuju lokasi hunian darurat warga sungguh luar biasa beratnya. Jalan yang baru dibuka milik PT Cemindo Gemilang dan sama sekali belum dilakukan pengerasan membuat sangat licin dan berlumpur. Apalagi kemiringan jalan rata-rata 45 derajat membuat kendaraan jenis biasa tak bisa melintas. Hanya roda empat double gardan yang memungkinkan bisa masuk lokasi.
Karena itu, distribusi logistik menjadi masalah baru bagi pemerintah dan relawan yang ingin membantu warga korban bencana. Belum lagi, kondisi tanah yang masih labil dan sesekali terjadi longsoran di sana-sini membuat kawasan huntara darurat tersebut masih sangat mengkhawatirkan.
Rombongan PUB pun harus berhenti di tiga titik, dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil offroad. Kehadiran Taufiequrachman Ruki beserta rombongannya disambut hangat oleh masyarakat Kampung Cigobang, Desa Banjarsari, Kecamatan Lebakgedong.
“Ini sesungguhnya tidak layak disini. Distribusi logistiknya susah. Menyediakan air dan listrik juga butuh biaya besar, sementara ini bukan lokasi hunian ideal. Tapi karena warga ingin mendekat ke ladang dan kebun mereka, ya apa boleh buat. Kita bantu mereka sebisanya,” ujar Taufiequrachman Ruki yang juga Dewan Penasehat Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Menurut mantan Ketua KPK tersebut, pemerintah dan semua pihak mesti segera menetapkan lokasi yang aman bagi hunian warga korban bencana. Hal ini akan memudahkan para relawan dan donator yang siap membangunkan hunian tetap bagi warga, khususnya yang telah kehilangan rumah beserta harta bendanya.
“Memang kita harus kerja cepat, dimana lokasi yang aman untuk ditinggali. Kalau sudah ada lokasi, bisa segera dibuatkan hunian tetapnya. Kalau begini kan sangat mengkhawatirkan. Walaupun bagi warga kampung, rumah seperti ini sudah cukup untuk sementara tinggal, tapi bagi kita, ini kan sangat tidak layak,” ujarnya.
Taufiequrachman Ruki meminta kepada Pemerintah Daerah agar memberi bantuan air bersih dan dan memasang genset. “Lokasi huntara yang berada di puncak gunung tidak tersedia sumber air bersih. Oleh sebab itu, warga hanya memanfaatkan mata air sawah yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari lokasi hunian,” ungkapnya.
“Saya harap PLN bisa memasang genset di sini secepatnya. Kebutuhan listrik ini tentu sangat mendesak bagi warga. Mereka kehilangan rumah dan isinya. Tak ada tempat untuk pulang, sementara tinggal di huntara, tapi apalah daya disini tidak ada air bersih dan listrik, padahal itu dasar kebutuhan,” ujarnya.
Masih menurut Taufiequrachman Ruki, dalam waktu dekat PUB juga akan meninjau korban tsunami di daerah Labuan, Sumur dan sikitarnya. “Kamihadir ditengah masyarakat yang berduka. Inilah bentuk kepedulian kami,” kata Taufiequrachman Ruki, didampingi Firdaus Wakil Ketua Umum Bidang Media dan Publikasi PUB.
Sementara, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Firdaus yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Media dan Publikasi PUB, mengajak seluruh pengurus dan anggota SMSI baik di pusat dan di daerah untuk peduli terhadap kondisi lingkungan sosial di daerah masing-masing. “Para pengurus dan anggota SMSI, tidak hanya mengelola bisnisnya saja, kita juga harus peduli dan hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan,” kata Firdaus.
Relawan untuk Relawan
Menarik untuk diperhatikan, di sepanjang jalan menuju lokasi bencana, banyak warga setempat yang menjadi relawan untuk para relawan yang datang. Mereka menjadi penolong bagi kendaraan yang melintas dan kesilitan menanjak. Mereka juga sepanjang hari memperbaiki jalanan yang rusak akibat longsor untuk bisa dilintasi. Berdasarkan pantauan, setidaknya para relawan untuk relawan ini berada mulai di Pasar Bujal, Kecamatan Cipanas. Di lokasi ini terdapat jalan yang amblas namun tetap bisa dilintasi. Untuk melintasi jalan ini harus bergantian dan mesti ekstra hati-hati sebab berada disisi longsoran dan harus menanjak. Relawan berikutnya berada di Kampung Cinyiru, Desa Banjarsari.
Di lokasi ini warga membelah batu-batu besar dan menyimpannya di tepi jalan karena badan jalan terus tergerus air yang belum surut sejak banjir datang. Tak jauh dari lokasi ini, tepat di Jembatan Cinyiru yang amblas puluhan warga juga stanby untuk mendorong atau menarik kendaraan relawan yang tak mampu menanjak.
“Pasca banjir dan longsor, jalan ini sering sekali membuat mobil-mobil yang lewat terhenti di tengah jalan. Lantaran, jalannya bebatuan terjal dan tanjakan jadi susah untuk dilewati. Jangankan mobil, pengendara motor saja banyak yang jatuh. Oleh sebab itu, kami sebagai warga berinisiatif untuk membantu menarik mobil-mobil yang lewat tanpa mengharapkan imbalan,” kata salah satu warga Cinyiru. (*)