PUSARAN.CO – Majelis hakim PTUN Jakarta, Rabu, 3 Juni 2020, memutus perkara sidang gugatan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat. Hakim menyatakan tindakan tergugat I (Kementerian Kominfo) dan Tergugat II (Presiden RI) yang memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 lalu adalah Perbuatan Melanggar Hukum. Hakim juga menghukum Tergugat membayar biaya perkara.
Putusan ini dibacakan oleh Hakim ketua Nelvy Christin SH MH, hakim anggota Baiq Yuliani SH, dan Indah Mayasari SH MH. Gugatan ini diajukan oleh Tim Pembela Kebebaasan Pers yang terdiri dari AJI Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam dan ICJR. Dalam gugatan yang diajukan November 2019 lalu, para penggugat meminta hakim menyatakan tindakan pemerintah yang melakukan pembatasan internet pada Agustus dan September tahun lalu melanggar hukum.
Dalam sidang, Kemkominfo dan Presiden RI menyatakan gugatan yang diajukan organisasi masyarakat sipil ini kedaluwarsa, tidak memliki legal standing, obscure libel dan error in persona atau salah pihak. Majelis hakim dalam keputusannya menyimpulkan, gugatan yang diajukan AJI dan SAFENet ini masih dalam tenggang waktu. Kedua lembaga juga dinilai memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan legal standing. Hakim juga menyatakan gugatannya jelas atau tidak kabur. Soal gugatan terhadap Presiden RI, kata Hakim, bukan merupakan error in persona. Presiden dinilai bisa digugat karena tidak melakukan kontrol dan koreksi terhadap bawahannya dalam pelambatan dan pemblokiran internet ini.
Majelis hakim menilai Tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet. Majelis hakim menilai, kewenangan yang diberikan dalam pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang “bermuatan melawan hukum”. “Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet,” kata majelis hakim dalam putusannya.
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan, alasan diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai diatur dalam Undang Undang Administrasi Pemerintah 30/2014. Pengaturan diskresi dalam UU Administrasi adalah satu kesatuan secara komulatif, bukan alternatif, yakni untuk; melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Hakim juga menilai alasan Kemenkominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum, juga tidak tepat. Sebab, dalam kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu. Sebenarnya ada ada undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatasan hak, yaitu Undang Undang tentang Keadaan Bahaya. Namun pemerintah tidak menggunakan undang-undang tersebut dalam menangani penyebaran informasi hoaks dalam kasus Papua ini. Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah kovensi hak asasi manusia lainnya.
Tim Kuasa Hukum Penggugat Muhammad Isnur mengapresisasi putusan hakim PTUN ini karena banyak menjadikan pertimbangan hak asasi manusia dalam pertimbangannya. Isnur menambahkan, dengan putusan PTUN Jakarta menyatakan pelambatan dan pemblokiran internet ini sebagai Perbuatan Melanggar Hukum, itu juga membuka kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan itu untuk menggugat dan meminta ganti rugi. “Tentu setelah berkekuatan hukum tetap,” kata dia.
Perlambatan dan kemudian pemutusan internet itu dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi setelah terjadi kerusuhan di Papua, Agustus – September 2019 lalu. Peristiwa itu dipicu oleh adanya tindakan rasis dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua antara lain di Malang, 15 Agustus 2019, di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Dengan dalih mencegah tersebarnya informasi palsu, Kemenkominfo memperlambat dan kemudian memblokir internet di Papua.
Adapun amar putusan hakim secara lengkap dan verbatim, sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
Menyatakan eksepsi Tergugat I dan Tergugat II tidak diterima
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan para penggugat
2. Menyatakan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II berupa:
1) Tindakan pemerintahan Throttling atau pelambatan akses/bandwitch di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua pada 19 Agustus 2019 sejak pukul 13.00 WIT sampai dengan pukul 20.30 WIT.
2) Tindakan pemerintahan yaitu pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet secara menyeluruh di Provinsi Papua (29 kota/kabupaten) dan Provinsi Papia Barat (13 kota/kabupaten) tertanggal 21 Agustus sampai dengan setidak-tidaknya pada 4 September 2019 pukul 23.00 WIT.
3) Tindakan pemerintahan yaitu memperpanjang pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet di 4 kota/kabupaten di Provinsi Papua (yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya) dan 2 kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat (yaitu Kota Manokwari dan Kota Sorong) sejak 4 September 2019 pukul 23.00 WIT sampai dengan 9 September 2019 pukul 18.00 WIB/20.00 WIT.
Adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
3. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp 457.000 (empat ratus lima puluh tujuh ribu rupiah). (rls).