PUSARAN.CO – Persoalan utama Pengamalan Pancasila bukan pada masyarakat tapi pada negara. Karena amanah pembukaan UUD 1945 tentang tujuan bernegara itu seharusnya tanggung jawab negara (eksekutif) bukan rakyat. Jadi untuk mewujudkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan kerakyatan dan keadilan sosial, maka itu kewajiban negara untuk memenuhi dan melaksanakan perintah konsitusi. Kewajiban warga negara adalah taat dan patuh terhadap hukum.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dalam kegiatan Webinar Nasional tentang Dasar Negara Dalam Perspektif Indonesia Masa Depan yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII) Sabtu, 6/6/2020. Webinar ini diikuti oleh bebagai macam ormas Islam serta pengurus wilayah KB PII se tanah air. Webinar ini diselenggarakan menanggapi pembahasan Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) inisiatif DPR.
Menurut Refly Harun, Dengan menjadikan Pancasila sebagai sebuah UU, berpotensi menjadikan Pancasila sebagai alat gebuk pemerintah untuk membungkam lawan lawan politiknya. Pancasila yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa, akan menjadi alat pemecah belah rakyat Indonesia.
“ Mereka yang mendukung pemerintah dianggap sebagai Pancasilais, sedangkan mereka yang mengkritik Pemerintah diposisikan sebagai anti pancasila, tidak Pancasilais. Padahal yang harus diwaspadai adalah mereka para koruptor sebagai tidak pancasilais tapi berlindung dibalik kekuasaan yang mengaku paling pansilais,” kata Reffly Harun.
Menurut Refly Harun, sekarang ini kita tidak butuh atau tidak perlu dengan RUU HIP. Alasannya karena dalam RUU HIP, terjadi reduksi dan degradasi makna Pancasila hanya menjadi ideologi dan dasar negara, padahal Pancasila memilik fungsi dan peran yang banyak diantaranya sebagai filsafah pandangan hidup bangsa, sebagai filter terhadap nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Selain itu, nilai nilai Pancasila sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesai ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, pada masa kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit .
Sementara itu Nasrullah Larada Ketua Umum PP KBPII, menegaskan bahwa RUU HIP ini menimbulkan pro kontra di masyarakat, salah satunya adalah tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang Larangan Komunisme diIndonesia. Menurut Nasrullah, RUU HIP ini diharapkan tidak menimbulkan pertentangan di masyarakat dalam kondisi dimana masyarakat masih diliputi wabah Pandemi Covid 19.
Karena jika sebuah RUU menimbulkan pertentangan di masyarakat, maka disitulah muncul banyak kemudharatan. KB PII sebagai bagian dari mata rantai Umat Islam, yang memiliki spirit Membangun Indonesia Jaya, merasa perlu terlibat dan melibatkan dalam merumuskan dan menentukan haluan dasar ideology negara agar tidak bertentangan dengan kepentingan umat Islam.(Rls).