Oleh: Pierre Suteki
Melalui konferensi pers yang diselenggarakan oleh Ketua DPR dan Menkopolhukam dinyatakan bahwa pemerintah tetap menolak Rancangan Undang- Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh DPR. Mahfud MD mengungkapkan, Pemerintah memiliki dua alasan menolak RUU HIP. Pertama, saat ini pemerintah ingin lebih fokus pada penanganan Covid-19. Kemudian yang kedua, materi RUU HIP hingga kini masih menjadi pertentangan dan perlu menyerap banyak aspirasi.
RUU BPIP: RUU “ujug-ujug”/dadakan
Ada fakta yang menarik dari jumpa pers antara Pemerintah dengan DPR pada hari Kamis, 16 Juli 2020 tersebut, yakni selain adanya pernyataan sikap Pemerintah yang sama dengan aspirasi masyarakat– diterjemahkan: menolak—-terkait dengan RUU HIP, ternyata Pemerintah juga menyampaikan berkas RUU BPIP. Lha kok bisa, orang Jawa menyebut “ujug-ujug” ada berkas usulan RUU BPIP? Ketua DPR Puan Maharani dalam konferensi pers menjelaskan, RUU BPIP berbeda dengan RUU HIP yang selama ini memicu gelombang protes dari masyarakat. Ia berjanji tidak akan memasukkan pasal-pasal kontroversial dalam draf RUU tersebut. RUU BPIP hanya memuat ketentuan tentan tugas, fungsi, wewenang, dan struktur BPIP. Pertanyaannya, apakah demikian mudah rezim legislator mencabut dan mengganti RUU di luar Prolegnas yang sudah ditetapkan, lalu apa fungsi prolegnas jika sangat cair konsistensi pelaksanaan- nya?
Proses pembentukan undang-undang diatur dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 16 sampai 23, Pasal 43 sampai 51 dan Pasal 65 sampai 74. Berdasar ketentuan tersebut proses pembentukan sebuah undang-undang dalam 6 tahap awal adalah sebagai berikut:
(1) Sebuah RUU bisa berasal dari Presiden, DPR atau DPD.
(2) RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait.
(3) RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun.
(4) RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
(5) Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna.
(6) Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut.
Berdasar 6 tahap awal tersebut dapat kita simpulkan bahwa tidak mungkin dalam waktu yang singkat salah satu pihak rezim legislator ini menyusun dan mengajukan sebuah RUU. Tidak mungkin “ujug-ujug” RUU diajukan dalam sebuah konferensi pers.
Menyoal polemik RUU HIP, jika DPR dan Pemerintah sepakat mengakhiri RUU HIP saya kira itu sangat patut diapresiasi. Namun, apakah serta merta bisa berubah/melompat kepada keputusan baru yaitu kesepakatan mengganti RUU HIP jadi RUU BPIP tanpa melalui mekanisme peraturan perundangan di DPR? Seharusnya jelas dulu RUU baru itu diusulkan dulu oleh siapa, dibahas di Baleg, kemudian diputuskan terakhirnya di Rapat Paripurna DPR. Jadi, perlu dipersoalkan apakah mekanisme dan proses prosedural formal itu pernah dibahas di Baleg untuk dibawa ke Rapat Paripurna?
Oleh karena itu, melihat kenyataan konferensi pers antara Pemerintah dan DPR hari Kamis 16 Juli 2020 terkait dengan adanya upaya mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP, ada beberapa hal yang harus dipermasalahkan, yaitu:
1. Harus ada keputusan tertulis dulu bahwa DPR dan Pemerintah sepakat menghentikan pembahasan RUU HIP.
2. Harus ada pernyataan resmi bahwa DPR sepakat oleh karena pembahasan RUU HIP dihentikan, maka RUU HIP harus dikeluarkan dari Prolegnas.
3. Perihal RUU BPIP, kalau RUU BPIP benar-benar merupakan usulan inisiatif dari Pemerintah, maka agar Pemerintah menempuh jalur legal konsitusional yang sudah baku dan berlaku di DPR. Namun, melihat luka yang ditorehkan oleh Ketua BPIP terkait dengan statement yang menyakitkan umat Islam, RUU BPIP tidak perlu ada.
Syarat khusus RUU di luar Prolegnas
Memang benar, sesuai UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan membolehkan DPR, Pemerintah, dan DPD mengajukan RUU) di luar daftar Prolegnas baik jangka panjang (lima tahunan) maupun tahunan. Namun, pengajuan RUU di luar Prolegnas ini harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur Pasal 23 UU Perubahan Pembentukan Peraturan itu.
Pasal 23 UU No. 15 Tahun 2019 menyebutkan secara limitatif-ekstensif bahwa:
(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Apakah RUU BPIP memenuhi kedua syarat limitatif tersebut? Hal ini harus ada kajian ilmiah yang selanjutnya mestinya dituangkan ke dalam naskah akademis RUU BPIP tersebut. Kalau dikaji lagi, sudah adakah Naskah Akademis RUU BPIP, kapan disusun, melibatkan siapa saja? Apakah di era pandemi covid ini Pemerintah telah melakukan sounding ke berbagai pihak yang menjadi stakeholders RUU BPIP?
RUU di luar Prolegnas: Inkosistensi perencanaan
Jika kita analisis, peluang DPR dan pemerintah untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas sebenarnya menunjukan ketidakyakinan rezim legislator terhadap perencanaan legislasi yang disusunnya sendiri. Pasal 23 ayat (2) UU 15/2019 tersebut mempunyai dampak terkait dengan inkonsistensi perencanaan program legislasi. Jadi, Prolegnas tidak lagi dapat menjadi pedoman dalam melihat politik legislasi dalam lima tahun ke depan.
Meski masih dalam suasana pandemi covid-19, rezim legislator harus tetap menaati aturan main dalam hal pengajuan usul rancangan undang-undang, baik yang datang dari DPR maupun dari Pemerintah. Sistem yang dibangun bukan untuk membuat “koclak” mesin otomat rezim legislator. Tidak ada narasi “ujug-ujug” usulan RUU BPIP itu diterima/disetujui dan berlaku untuk menggantikan RUU yg sudah ada yaitu RUU HIP. Intinya jika Pemerintah mengusulkan harus menyiapkan secara matang dan oleh karenanya setiap fraksi harus mengkaji untuk akhirnya setuju atau tidak setuju dijadikan pembahasan di DPR bersama Pemerintah.
Tuntutan Rakyat: Batalkan RUU HIP dan Bubarkan BPIP
Terlepas dari hal itu, sebenarnya tuntutan rakyat itu adalah bukan hanya penghentian RUU HIP tetapi oleh karena BPIP yang menjadi episentrum hiruk pikuk dan polemik tentang Pancasila, maka BPIP harus dibubarkan mengingat dipertimbangkan dari sisi manapun tidak ada urgensinya. Sayang sekali, justru Pemerintah malah mengajukan RUU baru berupa RUU BPIP. Apakah ini benar-benar menunjukkan bahwa Pemerintah sebagai bagian dari rezim legislator telah meneguhkan adanya mesin “koclak” otomat dalam law making di negeri ini? Sense of crisis yang berada di titik nadir tampaknya semakin membuktikan bahwa patut diduga rezim legislator tidak mewakili kepentingan siapa pun kecuali diri dan atau kepentingan partainya.
Miskinnya sense of crisis rezim legislator semakin dibuktikan adanya hasil Rapat Paripurna DPR Kamis, 16 Juli 2020. CNN Indonesia, Jakarta ( 16/7/2020 ) mewartakan bahwa Rapat Paripurna DPR RI resmi mengesahkan sebanyak 37 rancangan undang- undang yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 hasil evaluasi. Salah satu di antara 37 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 itu ialah RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Rezim legislator ini menurut saya memang sudah keterlaluan perilakunya. Protes MUI, ratusan ormas dan seluruh elemen masyarakat Indonesia tampaknya tidak digubris.
Umat Islam di negeri ini terkesan dianggap tidak memiliki daya. Jeritannya pun tidak mampu membuat hati sang rezim legislator meleleh, melainkan tetap keras membatu kekeh mempertahankan agar RUU HIP tetap menjadi RUU PRIORITAS Prolegnas 2020. Lalu, apa arti semua upaya umat Islam selama berbulan- bulan melakukan perlawanan berupa penolakan RUU HIP bila akhirnya rezim legislator tetap ingin membahas RUU HIP dalam persidangannya. Sekali lagi, mereka tidak memiliki sense of crisis terhadap jeritan, tuntutan, dan penderitaan rakyatnya.
Rakyat dipermalukan: Perlukah Masirah Kubra?
Umat Islam telah kehilangan muka, “lingsem”, dan seharusnya memang merasa dipermalukan oleh rezim legislator. Mau ditaruh mana muka MUI, Muhammadiyah, NU, Forum Rektor Indonesia, ratusan barisan ormas Islam se- Indonesia, dan ormas lain seperti Pemuda Pancasila yang semuanya mempunyai sikap MENOLAK RUU HIP. Menolak itu berarti tidak cukup hanya ditunda, melainkan dicabut dari prolegnas 2020. Mungkinkah MUI beserta ratusan ormas pengawal Surat Rekomendasi MUI akan melakukan “janjinya” untuk mengadakan “Masirah Kubra” dalam rangka menuntut rezim legislator untuk membatalkan dan mencabut RUU HIP dari Prolegnas?
Kebijakan Pemerintah mengajukan ganti RUU HIP dengan RUU BPIP harus pula dinilai sebagai bentuk “pelecehan” atau setidaknya pengabaian terhadap rakyat yang menuntut agar episentrum kegaduhan ideologi politik, yaitu BPIP dibubarkan. Atas fakta-fakta menohok ini, masihkah umat Islam dan rakyat ini merasa “punya muka”? Sebagai umat yang memiliki marwah, umat Islam seharusnya tidak membiarkan mesin rezim legislator rusak sehingg muncul produk perundangan yang tidak memiliki legitimasi. Apakah tidak lebih baik bila umat Islam tetap menggelorakan penolakan dan pembatalan RUU HIP dari Prolegnas 2020 dengan segala metamorfosenya.
Sense of crisis rezim legislator terbukti telah memudar menyikapi penolakan RUU HIP. Sebagai bagian bangsa yang terbesar, umat Islam harus terus bersikap menolak karena indikasi RUU HIP akan menjadi alat legitimasi rezim untuk menggebuk rakyat yang berseberangan dengan rezim. Oleh karena itulah pendirian saya tetap hingga kini, hanya ada satu kalimat yang pas untuk menyikapinya yaitu:
“TOLAK RUU HIP TANPA RESERVE, BATALKAN DARI PROLEGNAS”, “USUT TUNTAS DUGAAN MAKAR IDEOLOGI” dan “BUBARKAN BPIP”.
Saya tegaskan lagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan bubar lantaran tidak adanya BPIP dan UU HIP, namun justru patut diduga bahwa adanya BPIP dan UU HIP mengancam terjadinya DEMORALISASI, DISINTEGRASI dan DISORIENTASI bangsa Indonesia.
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip).